Sabtu, 29 Agustus 2009

WAKIL TUHAN MERAMPAS TANAH SAYA

“JANGAN TANYAKAN APA YANG NEGARA BERIKAN KEPADA KAMU TAPI TANYAKANLAH APA YANG KAMU DAPAT BERIKAN KEPADA NEGARA.”


Istilah ini mungkin hanya boleh dimiliki oleh Warga negara Amerika Serikat, tidak di Indonesia.
Ini justru terbalik keadaannya, dengan apa yang saya alami sekarang ini.

Bayangkan saya membeli tanah, resmi lewat Kantor Lelang Negara.




Uang sudah saya setor lunas ke Kas Negara.

Tapi begitu saya mau mengambil tanah yang saya telah beli tersebut, saya malah digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara oleh PT Summarecon Agung Tbk, developer Perumahan Kelapa Gading Permai.

Anehnya Majelis Hakim mengalahkan saya mulai dari:

- Pengadilan Negeri Jakarta Utara
- Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
- Mahkamah Agung

Saya terus melawan atas ketidakadilan ini tapi semua usaha saya seperti membentur tembok baja.
Sampai kini sudah 19 (Sembilan Belas) Tahun saya berjuang dan terus berjuang………………..
Namun belum kunjung juga saya mendapatkan tanah saya.

Entah sampai kapan keadilan ini dapat saya peroleh.
Kalau saja Hakim selaku Wakil Tuhan di Pengadilan bertindak adil, tentu nasib saya tidak seperti sekarang ini.
Tapi PT Summarecon Agung Tbk. melalui Wakil Tuhan di Pengadilan benar-benar tega-teganya merampas tanah saya.


KRONOLOGIS KEJADIAN


RUMAH SAKIT KINI TINGGAL IMPIAN

Aku adalah seorang pendidikan dokter gigi. Bersama beberapa teman dokter umum dan spesialis lainnya dari sebuah klinik bernama Klinik Wijaya Kusuma.
Klinik ini terletak di kawasan Duta Merlin sekitar Jl. Gajah Mada dan Jl.Hayam Wuruk.
Layaknya pengusaha di perusahaan biasa selalu ingin meningkatkan dan memperbesar usahanya. dokter yang juga sekretaris pengelola Klinik Wijaya Kusuma pun ingin meningkatkan klinik menjadi sebuah rumah sakit. Mungkin ini bukan sebuah impian yang muluk-muluk. Kami kala itu masih muda-muda dan enerjik.
Memang kami sudah melihat bahwa di kawasan Kelapa Gading sangat potensil untuk mengembangkan sebuah rumah sakit. Kami kala itu telah melihat dan mendengar bahwa kawasan ini akan menjadi sebuah kota mandiri di kawasan Jakarta Utara apalagi jalan utamanya yang dinamakan jl.Boulevard merupakan miniatur dari jl.Gajah Mada dan jl.Hayam Wuruk. Artinya selain perumahan akan ada pusat bisnis dan usaha yang dikembangkan di kawasan ini. Itu terbukti saat ini. Selain pusat perbelanjaan, di Kelapa Gading telah dibangun perumahan, apartemen dan pusat-pusat kegiatan perkantoran sebagaimana layaknya sebuah kota.
Berbekal pendidikan dokter gigi, yang boleh dikatakan tidak sesibuk rekan-rekan dokter lain, maka dipercaya untuk memonitor perkembangan rencana dan mewujudkan cita-cita mendirikan rumah sakit itu. Tentunya saya dengan senang hati menerima kepercayaan dari teman-teman ini.
Keinginan kami ini bak gayung bersambut. Tiba-tiba saja di suatu hari terpampang iklan di Suara Pembaruan yang menyatakan lelang sebidang tanah oleh Kantor Lelang Negara di kawasan Kelapa Gading.Tanah seluas 8.320 m2 sudah memadai untuk mendirikan sebuah rumah sakit. Rupanya tanah itu adalah tanah sita jaminan Badan Urusan Piutang Negara yang diagunkan oleh CV Griya Tirta. Tanah ini memiliki Seritifkat Hak Milik (SHM) No.139/Pegangsaan II atas nama Abdullah bin Naman.
Tentu saja kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Saya ikut lelang. Lelang yang dilaksanakan pada 5 Maret 1990 ini berhasil saya (Robert Sudjasmin) menangkan. Untuk memenangkan lelang itu saya sudah menyetor lunas ke Kantor Lelang Negara senilai Rp629.400.000 (Enam ratus dua puluh sembilan juta empat ratus ribu rupiah).
Segera setelah sertifikat dan bukti pembayaran ke kas negara saya pegang, langsung memohonkan Surat Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT) ke suku dinas Tata Kota Jakarta Utara. Karena sesuai peraturan daerah Pemda DKI kepemilikan lahan di atas 5.000 m2 harus memiliki SIPPT.
Disinilah mulai timbul permasalahan. Ternyata tanah SHM No.139/ Pegangsaan II itu sudah masuk dalam lokasi SIPPT No. 01805/IV/1985 milik PT Summarecon Agung.. Karna itu permohonan SIPPT yang saya ajukan tidak dapat dikabulkan.Hal inilah yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan. Artinya angan-angan kami untuk mendirikan rumah sakit di kawasan itu sama sekali tidak mungkin. Kawasan ini telah dikuasai oleh PT. Summarecon Agung.
Hanya saja PT Summarecon Agung mempunyai kewajiban membebaskan Tanah SHM No.139/ Pegangsaan II dari pemegang hak. PT Summarecon Agung sendiri berdasarkan SIPPT yang dia miliki akan membangun Perumahan Kelapa Gading Permai di lokasi itu.
Kemudian saya tahu bahwa PT Summarecon Agung pun telah mencoba melakukan pembebasan tanah dimaksud. Jadi sebelum Kantor Lelang Negara melakukan lelang umum pada 1988, rupanya Drs.Jusuf Surjamihardja, Kepala Kantor Wilayah VI Badan Urusan Piutang Negara telah didatangi oleh PT.Summarecon Agung , H.Juanda
( Wakil Manager Urusan Tanah ). Namun harga tidak mencapai kesepakatan, guna melunasi hutang CV Griya Tirta kepada PN Industri Sandang.
Versi lain juga diungkapkan oleh makelar tanah, Paul Satyoputra dan Abdul Rachman ( Pegawai DinasTata Kota Jakarta Utara) dipersidangan bahwa mereka datang kerumah H.Oyon ,Manager Urusan Tanah PT.Summarecon Agung.Ternyata tawaran H. Oyon ditolak CV.Griya Tirta dan harga yang disodorkan Oyon terlalu rendah. Kalau pun dijual dengan harga yang ditawarkan Oyon, tetap saja utang CV Griya Tirta kepada negara tidak akan tertutupi/terlunasi. Akhirnya diputuskan tanah SHM No.139/Pegangsaan II akan dilelang. Karena itulah terjadi lelang umum pada 5 Maret 1990 dan Lelang inilah yang saya menangkan..
Batal mendapatkan SIPPT, saya pun mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tujuan saya agar tanah SHM No.139/Pegangsaan II yang sudah saya miliki dibuatkan patok dan batas-batasnya. Hal ini untuk menjamin adanya tanah yang saya miliki dengan posisi yang jelas pula.

Masalah Letak Tanah
Untuk BPN pun tidak keberatan. Sdr. Iting Chaidir, petugas ukur dari BPN pun di suruh ke lapangan untuk membuat patok dan batas-batas sebagaimana mestinya. Saat pengukuran sedang berlangsung, terjadi insiden atau bahkan skandal di lapangan. Beberapa petugas satuan pengamanan (satpam) PT Summarecon Agung mengganggu bahkan mengintimidasi petugas ukur yang sedang bekerja. Satpam itu mencabuti patok-patok sementara yang sudah dipancang petugas. Situasi ini mengakibatkan pekerjaan pengukuran batas-batas tanah terbengkalai, tidak tuntas.
Selanjutnya seakan-akan berbuat baik dan penuh penuh damai para satpam PT Summarecon Agung mengarahkan Iting Chaidir ke tanah Yayasan BPK Penabur. Seolah-olah tanah SHM No.139/Pegangsaan II adalah lahan milik Yayasan BPK Penabur itu. Artinya, dengan mengukur dan mematok di lokasi Yayasan BPK Penabur terjadilah tumpang tindih/overlapp kepemilikan atas tanah.
Atas kejadian ini Kuasa Hukum saya, Law Office Minang Warman melayangkan Surat Teguran kepada Yayasan Badan Pendidikan Kristen (BPK) Penabur. Isinya memberitahukan bahwa lokasi tanah yang akan dibangun sekolah tersebut adalah identik dengan tanah bersertifikat No.139/Pegangsaan II yang baru dibeli Sdr. Roabert Sudajsmin (saya sendiri) dari Kantor Lelang Negara.
Rupanya inilah titik awal seluruh permasalah selanjutnya mengenai pemilik tanah SHM No.139/Pegangsaan II. Saya seolah-olah tidak bisa menunjukkan dimana lokasi tanah milik saya. PT Summarecon Agung sangat memanfaatkan peristiwa. Peristiwa ini dijadikan PT Summarecon Agung atas dasar gugatan di Pengadilan :” bahwa Sdr. Robert Sudjasmin. tidak tahu letak tanah SHM No.139/ Pegangsaan II miliknya.”
Kelalaian dalam penunjukkan dan pengukuran batas-batas tanah yang dibuat Petugas Ukur BPN, Sdr. Iting Chaidir ini sungguh berdampak luas dikemudian hari. PT Summarecon Agung menggunakan kekeliruan ini menjadi senjata ampuh satu-satunya untuk menutup-nutupi tindak pidana kriminalnya di kemudian hari.
Meski demikian saya tidak berputus asa. Persoalan ini segera saya selesaikan dan tanah yang sudah menjadi milik saya harus jelas. Oleh karena itu pada tanggal 23 Juni 1990 saya melapor ke Polisi dengan surat No.Pol: 1301/K/VI/1990/GA OPS ”A”. Atas laporan itu, dilakukanlah pengukuran-Ulang dan pemberian batas-batas sebagaimana mestinya oleh petugas BPN Sdr. Rochmat. Pelaksanaan pengukuran dan pematokan ulang ini berlangsung di bawah kawalan petugas Polisi Polda Metro Jaya dan juga disaksikan oleh wakil dari PT Summarecon Agung.
Kesalahan Penunjukkan batas-batas tanah SHM No.139 ini terobati dengan adanya Pengukuran Ulang oleh Petugas Ukur BPN, sdr. Rochmat dengan Pengawalan Petugas Polisi Polda Metro Jaya, juga disaksikan Karyawan PT SA Peristiwa ini dituangkan dalam “Berita Acara tanggal 5 Oktober 1990” dan disertai foto-foto situasi lapangan dari Tim Petugas Polda Metro Jaya. Dengan demikan saya merasa lega kembali karena tanah milik saya sudah jelas letak dan batas-batasnya..
Versi lain juga diungkapkan oleh Saur Delina L. Tobing, salah satu Hakim yang memutus perkara dalam suratnya kepada Ketua Komisi Yudisial RI, Busyro Muquddas. Komisi Yudusial kemudian berniat mengungkap kembali kasus ”Error In Objekta” (Kesalahan letak tanah ) ini setelah diputus pengadilan hingga hasil kasasi ke MA bahwa PT.Summarecon Agung pemilik satu-satunya atas tanah yang ”Bukan SHM No.139/Pegangsaan II” yaitu Girik C No.868 a.n Saimun bin Nawir di Kelurahan Petukangan dan tanah ex SUAD seluas 406.000m2.
Pengakuan Hakim SDL Tobing memperjelas bahwa PT.Summarecon Agung sesungguhnya mendalilkan tanah miliknya sendiri yaitu Girik C No. 868 dan tanah ex SUAD untuk mendapatkan Tanah SHM No. 139/Pegangsaan II milik saya melalui gugatan pengadilan walaupun dalam kenyataan ”berbeda lokasi”.
Berdasarkan putusan pengadilan yang sesat ini pada tahun 1999 PT.SA berhasil mengkecoh Kepala BPN, Hasan Basri Durin membatalkan Sertifikat Hak Milik No. 139 yang tidak bersalah ini padahal sebelumnya BPN Jakarta Utara yang membidani lahirnya sertifikat tersebut tahun 1974 telah mengeluarkan keterangan bahwa terbitnya SHM No. 139/Pegangsaan II ini tidak diragukan lagi bahkan tidak ada cacat, baik cacat administrasi maupun cacat yuridis.

foto: pengururan-ulang yang dikawal oleh Polda Metro Jaya



BERJUANG DI PENGADILAN NEGERI JAKARTA UTARA

Penghentian Kegiatan Pembangunan di atas lahan bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II bukannya menghentikan perseteruanku dengan PT Summarecon Agung. Sebaliknya, seakan merasa terhina dengan tindakan itu, PT Summarecon Agung pun melanjutkannya lewat jalur hukum. Pada 31 Januari 1991 Herman Zakaria selaku kuasa hukum PT Summarecon Agung menggugat saya dengan Perkara Perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. PT Summarecon Agung berbalik menuduh saya sebagai pihak yang ingin menguasai lahan mereka dengan cara mengaku memiliki sertifikat SHM No.139/Pegangsaan II. Dengan demikian saya dan PT Summarecon Agung pun masuk ke meja hijau pengadilan. Perkara yang diadukan oleh Herman Zakaria ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara dicatat sebagai perkara No.17/Pdt/G/1991/PN.Jakut.

Untuk menghadapi sekaligus mengadakan perlawanan hukum di PN Jakarta Utara saya pun meminta bantuan pengacara. Saya dibantu oleh Minang Warnan Sofyan SH. Tetapi yang sangat menyedihkan dan menyakitkan bagi saya sebelum sidang perkara dilaksanakan di PN Jakarta Utara, rumah saya sudah disita. Kebetulan rumah saya itu berada di Perumahan Kelapa Gading yang merupakan proyek real estate milik PT Summarecon Agung. Saya dan keluarga terpaksa pindah kembali ke rumah lama kami di kawasan Pulomas, tepatnya ke Jl. Kayu Putih Tengah IA/1, Jakarta Timur. Hal ini memang dengan mudah dapat dilaksanakan oleh pihak PT Summarecon Agung karena rumah itu saya beli dari mereka. Meskipun sudah saya bayar lunas dengan membeli tunai seharga Rp150 juta (kalau dinilai sekarang mungkin sudah seharga Rp2 miliar lebih), namun sertifikatnya tidak kunjung mereka keluarkan. Untungnya keluarga tidak tahu bahwa sertifikat rumah ini masih ditahan oleh PT Summarecon Agung.

Boleh jadi tujuan penyitaan sertifikat rumah saya supaya saya tidak memiliki kemampuan apapun untuk melawan mereka. Bukan tidak mungkin saat berperkara itu saya harus menjual rumah untuk mendukung upaya perlawanan hukum saya. Tetapi karena sertifikatnya sudah ditahan oleh PT Summarecon Agung, saya pun tidak bisa menjualnya.

Sesuai dengan surat gugatan tertanggal 31 Januari 1991 yang dilayangkan oleh Herman Zakaria ke PN Jakarta Utara, pihak-pihak yang terlibat dalam perkara No.17/Pdt/G/1991/PN Jakut adalah sbb :

I. Pihak-pihak dalam perkara adalah:

PT. Summarecon Agung, selaku Penggugat

LAWAN

1) Robert Sudjasmin, selaku Tergugat I;

2) Abdullah bin Naman, selaku Tergugat II; (Tidak pernah Hadir di persidangan)

3) Negara RI cq. Pemerintah RI cq. Departemen Keuangan cq. Badan Urusan Piutang Negara cq. Badan Urusan Piutang Negara Kantor Wilayah VI Jakarta, selaku Turut Tergugat I;

4) Negara RI cq. Pemerintah RI cq. Departemen Keuangan cq. Direktorat Jendral Pajak cq. Kantor Lelang Negara Kelas I Jakarta, selaku Turut Tergugat II;

5) Negara RI cq. Pemerintah RI cq. Badan Pertanahan Nasional cq. Kantor Badan Pertanahan DKI Jakarta cq. Kantor Badan Pertanahan Jakarta Utara, selaku Turut Tergugat III;

6) Negara RI cq. Pemerintah RI cq. Departemen Dalam Negeri cq. Pemerintah DKI Jakarta cq. Walikota Jakarta Utara, selaku Turut Tergugat IV;

II. Majelis Hakim yang terdiri dari:

1) Almarhum Thomas Sumardi, SH, sebagai Ketua Majelis Hakim (sudah almarhum)

2) Susanti Adi Nugroho, SH, sebagai Hakim Anggota I (sekarang menjabat sebagai Hakim Agung Mahkamah Agung RI);

3) Saur Delina L. Tobing, SH, sebagai Hakim Anggota II (sekarang menjabat sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Medan);

4) Hasnidah Lubis, sebagai Panitera Pengganti.

III. Isi gugatan :

1) Pembatalan lelang atas tanah seluasa 8.320 m2 dengan sertifikat SHM No.139/Pegangsaan II/Th.1974 dengan mendalilkan tanah tersebut adalah tanah PT Summarecon Agung yang diperoleh dari PT Raka Utama. Sedangkan PT Raka Utama memperoleh tanah tersebut dari ruilslag dengan Staf Umum Angkatan Darat (SUAD)pada Th.1988.

2) Meminta Pengadilan menghukum tergugat I membayar ganti rugi materil sebesar Rp2.934.750.000 atas keterlambatan proses penyelesaian pembangunan dan ganti rugi moril Rp2.500.000.000.- kepada PT Summarecon Agung. Alasannya, karena tergugat I telah melaporkan salah satu direktur PT Summarecon Agung ke Polda Metro Jaya karena melakukan penyerobotan tanah.Padahal sengketa tanah antara Tergugat dan Penggugat adalah sengketa perdata yang seharusnya diselesaikan secara perdata. Juga tergugat I telah mengadukan kepada turut tergugat IV (WaliKota Jakarta Utara) sehingga turut tergugat IV mengeluarkan Surat Penghentian Pembangunan No.41/1.785.2 tertanggal 4 Januari 1991. Hal ini juga telah mengakibatkan proses pembuatan IMB pun ditangguhkan.

3) Melarang Turut Tergugat IV melaksanakan Suratnya No.41/1.785.2 tertanggal 4 Januari 1991 tentang penghentian kegiatan pembangunan dan akibat lain yaitu penghentian proses pemberian IMB.

4) Menghukum Tergugat I dengan uang paksa setiap kali melanggar putusan provisi sebesar Rp10 juta atau sejumlah lain yang dianggap patut oleh Pengadilan.

5) Meletakkan sita jaminan atas sebidang tanah dan bangunan rumah milik Tergugat 1 (saya) yang terletak di JL. Janur Indah XI Blok LB 13 No.9, Perumahan Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara.

6) Supaya Tergugat II dan Para Turut Tergugat dalam perkara ini dihukum untuk mematuhi dan melaksanakan putusan dalam perkara.

7) Supaya keputusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada banding, verzet ataupun kasasi.

Jadi menurut hasil penelitian Penggugat (PT Summarecon Agung cq kuasa hukumnya) tanah saya yang bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II seluas 8.320 m2 itu ada pada peta P.P.10/1961 di lembar 2, Kotak C/6.7. Nomor Pendaftaran 40 dan 41 Desa Pengangsaan II. Tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II itu terdiri dari tanah Girik C No.868 Persil No.798 Blok S.II seluas 4.252 m2.

Dengan kata lain sebagian tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II itu tumpang tindih di lokasi tanah Girik ini. Tanah ini diakui sebagai tanah bernomor Pendaftaran 40. Dan sesuai dengan Akte Pelepasan Hak Atas Tanah No.3 tertanggal 1 Agustus 1985 lahan ini telah menjadi milik sah PT Summarecon Agung yang dibeli dari Saimun bin Nawir. Akte Pelepasan Hak Atas Tanah No.3 tertanggal 1 Agustus 1985 dibuat oleh Soesilo Soemarsono selaku pengganti Willy Silitonga, notaris yang berkedudukan di Jakarta.

Sebagian lagi luas lahan bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II termasuk dalam lahan bernomor Pendaftaran 41 yaitu tanah seluas 406.000 m2. Lahan ini terletak di Kelurahan Peganggssan II yang dulunya bernama Rawa Gatel, Kecamatan Koja. PT Summarecon Agung mendapatakan hak atas tanah ini dari PT Raka Utama. Sedangkan PT Raka Utama sendiri mendapatkan tanah ini lewat tukar guling ( ruilslag ) dengan Mabes TNI Angkatan Darat pada 29 Juli 1988 Tanah ini dimiliki oleh PT Summarecon Agung berdasarkan Akta Pelepasan Hak atas Tanah No.9 tanggal 1 Oktober 1988 yang dibuat di hadapan J.L. Waworuntu, notaris di Jakarta.

Dengan bukti-bukti inilah PT Summarecon Agung menyatakan bahwa tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II (yang menjadi hak saya, tergugat I) lokasinya tumpang tindih dengan tanah yang telah dikuasainya. Ditegaskan dalam gugatan itu bahwa PT Summarecon Agung adalah satu-satunya pemilik tanah girik C. No.868 Persil No.798 Blok S.II seluas 4.252 m2. Hal ini dijelaskan berdasarkan Akte Pelepasan Hak Atas Tanah No.3 Tanggal 1 Agustus 1985.

Juga dinyatakan bahwa PT Summarecon Agung adalah pemilik satu-satunya atas sebidang tanah seluas 406.000 m2 berdasarkan Akte Pelepasan Hak Atas Tanah No.9 Tanggal 1 Oktober 1988. Bahkan PT Summarecon Agung menyatakan atas tanah seluas 406.000 m2 itu Gubernur DKI Jakarta telah memberikan Surat Ijin Penunjukan Penggunaan Tanah melalui surat No .242/-1.711 tertanggal 19 Januari 1989.

Bahkan dalam gugatan itu PT Summarecon Agung melalui kuasa hukumnya Herman Zakaria mengakui bahwa pihaknya juga telah pernah dipanggil oleh kuasa hukum saya, tepatnya pada 14 April 1990. Tujuan pemanggilan ini adalah untuk menerangkan lebih jauh mengenai keberadaan tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II milik saya itu. Bahkan dalam kesempatan itu kuasa hukum saya memberikan fotocopy sertifikat SHM No.139/Pegangsaan II kepada perwakilan Penggugat yang hadir.

Pada saat itu perwakilan pihak Penggugat meminta waktu kepada kuasa hukum tergugat I untuk mempelajari sekaligus meneliti terlebih dahulu lokasi tanah itu. Ternyata hasil penelitian Penggugat menyatakan bahwa tanah bersertifikat No.139/Pegangsaan II yang saya klaim sebagai milik saya tumpang tindih dengan tanah milik PT Summarecon Agung seperti dijelaskan diatas.

Selanjutnya Herman menjelaskan bahwa saya tidak menerima penjelasan mereka. Sebaliknya saya dikatakan justeru melaporkan pihak PT Summarecon Agung kepada Kepolisian Daerah Metro Jaya pada Maret 1990. Tuduhannya, PT Summarecon Agung telah melakukan tindak pidana perbuatan curang atas kepemilikan tanah. Akibat pengaduan itu salah seorang direktur PT Summarecon Agung dipanggil dan diperiksa oleh pihak Kepolisian Daerah Metro Jaya.

Tidak berhenti disitu, dalam gugatan itu juga dijelaskan bahwa saya telah mengekspose pengaduan saya ke media massa, antara lain Suara Pembaruan. Dituduhkan bahwa isi berita itu menuduh PT Summarcon Agung telah menyerobot tanah saya sekaligus mendiskreditkan PT Summarecon Agung.

Selain melaporkan PT Summarecon Agung ke Polisi, saya juga dinyatakan telah membuat laporan pengaduan ke Walikota Jakarta Utara (turut tergugat IV). Menurut Herman akibat laporan saya ini Walikota Jakarta Utara telah mengeluarkan surat No. 41/1.785.2 tertanggal 4 Januari 1991 yang merupakan Surat Permintaan Penghentian Kegiatan Pembangunan di atas tanah tersebut.

Penggugat juga menyatakan bahwa pihaknya melihat banyak sekali keganjilan di dalam proses pensertifikatan tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangssan II itu. Antara lain dikatakan bahwa tanah di dalam Peta P.P.10/1961 itu terdiri dari dua bidang, tetapi disertifikatkan menjadi satu bidang. Keganjilan lain, dikatakan bahwa bekas tanah partikelir tapi dikonversi jadi Hak Milik. Keganjilian berikutnya tanah disertifikatkan pada tanggal 4 November 1974 atas nama Abdullah bin Naman (tergugat II). Tanah itu kemudian dijaminkan oleh CV Griya Tirta pada 1976. Tetapi hal ini didiamkan saja oleh Badan Urusan Piutang Negara Kantor Wilayah VI Jakarta. Baru diserahkan ke Kantor Lelang Negara Klas I Jakarta pada 3 Februari 1990 untuk dieksekusi.

Padahal menurut informasi yang didapatkan oleh Penggugat dari H. Abdul Hamid selaku seorang yang banyak mengetahui riwayat pembebasan tanah yang dilakukan SUAD di daerah Rawa Gatel, Pengangsaan II dikatakan:

a. Tanah garapan Abdullah bin Naman (tergugat II) seluas sekitar 8.755 m2 telah dibebaskan oleh SUAD pada 15 April 1965.

b. H. Abdul Hamid yang melakukan pembayarannya kepada Abdullah bin Naman dengan disaksikan oleh Djamhari selaku Lurah Pengangsaan II saat itu.

c. Lokasi tanah garapan Abdullah bin Naman kala itu berada dalam penguasaan SUAD, bukan seperti tercantum dalam SHM No.139/Pegangsaan II

d. Sebagian dari tanah dalam SHM No.139/Pegangsaan II yaitu sekitar 4.252 m2 adalah milik Saimun bin Nawir yang telah dijual kepada PT Summarecon Agung..

Bahkan melalui informasi dari H. Abdul Hamid, Penggugat juga berhasil menemui Abdullah bin Naman (Tergugat II).

Dalam rangka mensukseskan gugatannya , Penggugat menyiapkan seorang pengacara bagi Abdullah bin Naman, yang tidak bisa hadir didalam persidangan, dan Abdulah hanya memberi surat pernyataan bahwa :

1. Dirinya telah melepas haknya atas tanah garapannya seluas lebih kurang 8.775 m2 kepada SUAD pada tahun 1965
2. Dirinya tidak pernah memiliki Girik C No.1090/761/SI yang digunakan membuat SHM No.139/Pegangsaan II dan juga tidak pernah membuat dan apalagi memiliki SHM No.139/Pegangsaan II itu
3. Lokasi tanah garapan miliknya berbeda dengan lokasi tanah milik H.Saimun bin Nawir.

Atas testimoni Abdullah bin Naman ( Tergugat II ) ini Penggugat (Selaku Pemilik PT. Summarecon Agung yang berdiri sejak tahun 1976) menguatkan pendapat pribadinya bahwa SHM No.139/Pegangsaan II tidak mempunyai nilai pembuktian sebagai bukti pemilikan. Sertifikat ini juga tidak berdaya kerja sejak dikeluarkan pada tahun 1974. Konsekuensinya, SHM No.139/Pegangsaan II bukan merupakan alat bukti untuk tanah dimaksud sejak dikeluarkan oleh Kantor Badan Pertanahan Jakarta Utara (Turut Tergugat III) . Dengan demikian perbuatan pembelian melalui lelang yang saya lakukan dan lelang yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara Klas I Jakarta (Turut Tergugat II) batal demi hukum.

Penggugat juga sangat dirugikan akibat laporan saya ke kepolisian dan ke Walikota Jakarta utara (turut tergugat IV). Kerugian itu telah membuat salah seorang direksi PT Summarecon Agung dipanggil kepolisian dengan tuduhan menyerobot tanah pihaklain. Surat Penghentian Pembangunan dari Walikota Jakarta Utara telah mengakibatkan tertundanya pembangunan serta ditangguhkannya proses pembuatan IMB. Selain itu turunnya Surat Penghentian Pekerjaan Pembangunan dari Gubernur DKI Jaya dikualifisir sebagai perbuatan mencemarkan nama baik Penggugat dan perbuatan melawan hukum.

Untuk itu Penggugat menuntut ganti kerugian dari saya secara materiil atas tertundanya pembangunan di atas lahan sebesar Rp 2.934.750.000. Penggugat juga menuntut ganti kerugian moril sebesar Rp2.500.000.000. Penggugat juga menuntut agar pengadilan melarang Walikota Jakarta Utara melaksanakan suratnya No.41/1.785.2 tertanggal 4 Januari 1991 mengenai permintaan penghentian pembangunan dan segala akibatnya seperti pemberian IMB.

Guna menjamin tidak terjadi pengalihan harta kekayaan guna menghindari tangungjawabnya terhadap gugatan ini penggugat memohon kepada Pengadilan agar berkenan mempertimbangkan untuk meletakkan sita jaminan atas seluruh harta kekayaan bergerak maupun tidak bergerak Tergugat I (saya). Khususnya Penggugat meminta agar rumah saya yang berada di Perumahan Kelapa Gading Permai Jakarta Utara segera disita.

Membedah Rekayasa Summarecon

Mendengarkan semua gugatan dan dakwaan Penggugat di atas saya selaku Tergugat I langsung mengadakan bantahan. Semua dalil dan bukti-bukti Penggugat saya tolak kecuali hal-hal dan bukti-bukti yang secara tegas saya akui. Selain itu kuasa hukum saya menyatakan bahwa kuasa hukum PT Summarecon Agung tidak memuat objek perkara atau pokok sengketa. Yang dibuat oleh kuasa hukum PT Summarecon Agung hanya mengenai perbuatan melawan hukum.

Hal itu terlihat dari isi Surat Kuasa asli kuasa hukum PT Summarecon Agung. Di dalam surat kuasa itu tidak dinyatakan secara tegas, macam perbuatan melawan hukum seperti apa atau perbuatan melawan hukum tergugat I yang mana. Jadi surat kuasa Penggugat tidak khusus melainkan umum. Ini berarti tidak memenuhi aturan hukum Pasal 123 ayat I HIR jo keputusan Raker Mahkamah Agung RI – Departemen Kehakiman dan Pengadilan Tinggi se-Indonesia tahun 1982 jo Surat Edaran MA No.2/1959 tertanggal 19 Januari 1959. Karena surat kuasa penggugat tidak memenuhi tuntutan hukum yang berlaku maka seyogianya gugatan pun haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.

Kemudian kuasa hukum saya Yusuf Abdullah dari Minang Warman Sofyan & Associates sebelum mengajukan pembelaan lebih lanjut terlebih dahulu mengajukan beberapa pertanyaan ke penggugat seperti di bawah ini.

1. Mengapa PT Summarecon Agung tidak menuntut juga PN Industri Sandang. Padahal jelas-jelas PN Industri Sandanglah pihak yang punya agunan berupa SHM No139/Pegangsaan II dan pihak yang menyuruh lahan bersertifikat SHM No.139/Pengangsaan II dilelang oleh Badan Urusan Piutang Negara. Dalam kasus ini kalau benar tanah itu milik PT Summarecon Agung berarti PN Industri Sandang adalah pihak yang melakukan penyerobotan lahan PT Summarecon Agung sebelum dilelang. Selain itu Yusuf juga mengatakan bahwa sebelum tanah ini dilelang sudah dilakukan pengumuman ke publik. Namun tak ada pihak yang keberatan sehingga lelang dilaksanakan.

Ketika tanah dilelang maka tanah dalam status diblokir. ”Tidak ada pihak lain yang menguasainya. Selain itu, lanjutnya, tanah tergugat I berbeda lokasi dengan tanah milik TNI-AD (dulu SUAD).

Dengan tidak ikut PN Industri Sandang digugat oleh Penggugat berarti fihak-fihak dalam perkara ini tidak lengkap. Oleh sebab itu sesuai dengan jurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI gugatan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima.

2. Mengapa Ketua Majelis Hakim tidak mengabulkan permohonan CV Griya Tirta yang adalah pemilik tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II untuk diikut sertakan sebagai salah satu tergugat. Padahal lahan bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II adalah barang agunan yang diajukannya ke PN Industri Sandang atas utang-utangnya. Bahkan CV Griya Tirta melalui Abdulrachman Saleh selaku pemilik tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II dan direktur CV Griya Tirta telah mengajukan surat keberatan atas penyidangan perkara perdata No.17/Pdt/G/1991/PN.Jkt.Ut.tanpa kehadiran dirinya.

Abdulrachman Saleh menyatakan keberatan atas petitum Penggugat yang menyatakan tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II yang telah dikeluarkan oleh Turut Tergugat III (BPN) atas nama Tergugat II (Abdullah bin Naman), tidak mempunyai nilai pembuktian hak sejak semula. Abdulrachman juga menyatakan keberatan atas pernyataan bahwa Risalah Lelang No.338 tanggal 5 Maret 1990 yang menyangkut objek tanah bersertifikat No.139/Pengangsaan II adalah batal demi hukum. ”Sebab sayalah tadinya yang berhak atas tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II . Kemudian pada 1976 saya serahkan kepada PN Industri Sandang sebagai jaminan hutang saya. Akhirnya tanah itu dilelang oleh Kantor Lelang Negara sehingga utang saya kepada PN Industri Sandang telah selesai dengan tuntas,” tulis Abdulrachman dalam surat permohonannya tertanggal 8 April 1992 kepada Hakim.

Selain pertanyaan-pertanyaan yang mengherankan itu, Yusuf juga masuk ke dalam materi gugatan. Menurut Yusuf, sebelum dilakukan pelelangan, pihak saya telah melakukan pengecekan tanah itu kepada BPN Jakarta Utara (dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah, 3 Maret 1990). Ketika dilangsungkan pelelangan, kata Yusuf, tanah dalam keadaan diblokir oleh BPN atas permintaan Kantor Lelang. Tidak ada pihak lain yang menguasainya. Lokasi tanah milik tergugat I, sebenarnya berbeda dengan “tanah TNI-AD” (dulu SUAD). Setelah tanah itu saya beli (Robert Sudjasmin) “Tanah itu diserobot oleh penggugat,” kata Yusuf.

Dalam SK Pangab No. SKEP/24/I/1987 (15 Januari 1987), disebutkan PT Raka Utama harus mengganti/ membayar kepada ABRI (AD) senilai Rp.7,2 miliar. Uniknya, PT Raka Utama menjual tanah itu kepada PT Summarecon Agung (sesuai Akta Pelepasan Hak Atas Tanah No.9) hanya seharga Rp. 4,06 miliar ( 1 Oktober 1988 ). Ini berarti, dalam waktu hanya dua bulan PT Raka Utama mengalami kerugian sebesar Rp. 3,14 miliar. “Apakah ini masuk akal? Ataukah proses jual beli ini hanya sebuah permainan belaka?” tanya Yusuf. Herman Zakaria selaku kuasa hukum PT Summarecon Agung hanya menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan :“Itu kan bukan urusan kita. Proses jual beli tanah itu sudah sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.”

Selain itu, dalam suratnya tertanggal 24 April 1991, BPN Jakarta Utara (Turut Tergugat III) menyatakan Sertifikat Hak Milik No.139/Pegangsaan II, tidak ada cacat administrasi dan cacat yuridis. “Sertifikat No.139/Pegangsaan II adalah sah dan berhak sebagai alat bukti hak yang sempurna menurut hukum,” ungkap Ignatius Toekino SH selaku kuasa hukum Turut Tergugat III (BPN).

Atas dasar bukti-bukti ini pengacara saya Yusuf meminta kepada Hakim agar menghukum tergugat rekonpensi (PT Summarecon Agung) untuk membayar ganti rugi kepada penggugat rekonpensi (Robert) sebesar Rp. 38,53 miliar, dan ganti rugi atas pemakaian jalan/ saluran air sebesar Rp. 16 miliar. “PT Summarecon Agung tidak hanya menyerobot tanah klien saya. PT Summarecon Agung juga melanggar peraturan pemerintah dengan membangun ruko dan rumah tinggal tanpa IMB,” tambah Yusuf.

Atas tudingan Yusuf bahwa PT Summarecon Agung membangun tanpa IMB, pengacara penggugat Herman Zakaria mengatakan:“Klien saya punya izin, namanya izin pendahuluan,” tangkis Herman. Namun ketika dikejar dengan pertanyaan mengenai nomor dan tanggal surat Ijin Pendahuluan itu, Herman malah mengatakan dirinya tidak tahu dan itu bukan urusannya.

Dalam peta Surat Ukur No.774/tahun 1989 (peta tanah ini merupakan lembaran dari Sertifikat Induk HGB No. 3277 ) yang ditandatangani Sudibjo (pejabat BPN Jakarta Utara) yang disaksikan H. Sjamhudi (Direktur Pensertifikatan Tanah Summarecon Agung) bahwa tanah yang saya (Robert Sudjasmin) beli seluas 8.320 m² dengan peta Surat Ukur No. 976/ tahun 1974 , ternyata bersebelahan dengan peta dari Sertifikat Induk HGB No. 3277 yaitu peta Surat Ukur No.774 dan No.773. Dengan kata lain Sertifikat No.139 seluas 8.320 m2 belum pernah dibebaskan oleh PT. Summarecon Agung. “Tentang peta itu, saya belum mendapat penjelasan. Saya harus mengecek di lapangan,” kata Herman Zakaria, seperti tertulis di Warta Ekonomi No. 52 tgl 27 Mei 1991.

Padahal perlu saya ungkapkan bahwa sebelum diadakan ”Lelang Terbuka” oleh Kantor Lelang Negara atas tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II, yang kemudian saya menangkan, pihak PT Summarecon Agung sudah lebih dahulu mengadakan penawaran yaitu pada 1988. Pihak PT Summarecon Agung mendatangi Drs.Jusuf Surjamihardja, Kepala Kantor Wilayah VI Badan Urusan Piutang Negara. PT Summarecon Agung memohon agar tanah SHM No.139/Pegangsaan II dapat mereka beli secara di bawah tangan/ di luar lelang. Namun karena harga yang diminta PT Summarecon Agung terlalu rendah sehingga tidak menutup utang CV Griya Tirta kepada krediturnya PN Industri Sandang akhirnya Badan Urusan Piutang Negara tidak jadi menjual tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II ke PT Summarecon Agung.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Abdulrachman Saleh, direktur CV Griya Tirta. Pihak PT Summarecon Agung. dalam hal ini Sdr. H. Oyon (manager urusan tanah PT Summarecon Agung) telah mendatangi Abdulrachman untuk membeli tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II disebabkan lokasi Sertifikat No.139 terpapar sebagai tetangga , bersebelahan dengan Sertifikat Induk No.3277 sesuai peta Surat Ukur No.774 yang diberi rambu-rambu ” diblokir atas permintaan Badan Urusan Piutang Negara . Namun karena harga yang ditawarkan PT Summarecon Agung terlalu rendah maka jual-beli tidak terjadi. ”Ngak mungkin saya lepas kalau tidak bisa menutup utang saya di PN Industri Sandang,” ungkap Abdullrachman kala itu.

Setelah proses jual beli tanah ini tidak terjadi barulah Kantor Lelang Negara mengadakan lelang. Dalam proses lelang inilah saya menang dan akhirnya memiliki lahan bersertifikat No.139/Pegangsaan II itu dengan dibekali Surat ” Pencabutan Pemblokiran atas tanah SHM No. 139/ Pegangsaan II ” yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara tertanggal 21 Maret 1990 dengan No.S-260/WPN.06/ P/90

Dalam persidangan selanjutnya kuasa hukum saya berupaya menyanggah gugatan Penggugat. Bahkan kuasa hukum saya membuktikan tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan penggugat. Misalnya untuk lahan Girik C No.868 atas nama Saimun bin Nawir atas tanah seluas 4.252 m2. Pertama, Girik C No. 868 a/n Saimun bin Nawir ini dibeli oleh PT Nusa Kirana Real Estate dengan Akta Notaris No. 3 Tanggal 1 Agustus 1985 dimana luas tanah tertulis 4.900 M² dan bukan 4.252 m2. PT Nusa Kirana Real Estate adalah pengembang dari Perumahan Kelapa Gading Permai bersama PT Summarecon Agung. PT Summarecon Agung mempunyai Direktur Utama Soetjipto Nagaria dan Direktur Umum Zaelani Zein. Sebaliknya di PT Nusa Kirana Real Estate Direktur Utama Zaelani Zein dan Direktur Umum Soetjipto Nagaria (Silang Jabatan).

Dalam persidangan Sdr Tjarbu Sukinta, tukang ketik Notaris merangkap saksi dalam Akta No 3 tanggal 1 Agustus 1985 memberikan pengakuan dan penjelasan mengenai perbedaan luas tanah 6.48 m2. Menurut Tjarbu Sukinta pada 11 Januari 1991 untuk kepentingan gugatan perdata PT Summarecon Agung terhadap saya (Robert Sudjasmin) dirinya membuat minut Akta dan salinan Akta No.145 dari PT Nusa Kirana Real Estate kepada PT Summarecon Agung. ”Namun saya dengan tegas menolak nama saya dicantumkan sebagai saksi karena saya tahu persis bahwa Akta No.3 tanggal 1 Agusutus 1985 yang dijadikan pedoman untuk pembuatan Akta baru No.145 tanggal 11 Januari 1991 adalah cacat demi hukum. Alasannya karena para pihak yang disebut dalam akta tidak hadir di hadapan Notaris. Juga yang tak kalah penting karena isi akta itu tidak sama dengan minut akta yang disimpan di arsip Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” ungkap Tjarbu Sukinta. Karena itulah Tjarbu sengaja mencantumkan nama-nama orang yang pernah terlibat dalam proses pemalsuan Akta No.3 tertanggal 1 Agustus 1985 yaitu H. Oyon dan Nyonya Norma Fitryah. ”Harapan saya kelak di kemudian hari mereka dapat mempertangungjawabkan atas segala perbuatan mereka,” ujar Tjarbu.

Adapun mengenai perbedaan luas Tanah sebesar ( 4.900 M² - 4.252 M² ) = 648M² itu menjadi tanggungjawab H. Oyon. Boleh dikatakan dengan adanya selisih luas tanah berarti ada uang perusahaan yang raib sebesar 648 m2x Rp 7.500/M² = Rp 4.860.000. Itu merupakan tanggung jawab sdr H. Oyon terhadap PT. Nusa Kirana Real Estate. Tjarbu mengaku tidak ikut terlibat dalam uang hasil kejahatan itu.

Selain manipulasi luas tanah dan pembuatan akte palsu, berita acara Pemeriksaan Laboratorium Kriminalistik No. 245/DF/94 tanggal 3 Mei 1994 menjelaskan :bahwa pada 11 Januari 1991 PT Summarecon Agung melakukan tindak Perbuatan Melawan Hukum. Mereka telah membuat dengan sadar Akta Pemindahan Hak No. 145, antara Zaelani Zein (selaku Direktur Utama PT Nusa Kirana Real Estate) dengan Zaelani Zein (selaku Direktur Umum PT Summarecon Agung). Perbuatan ini dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena girik Aseli C No. 868 yang dijadikan sebagai objek pelepasan hak tidak dihadirkan.

Karena memang pada saat itu Girik dimaksud sudah disita Polisi sebagai Penyidik atas dasar Surat Ketua Pengadilan No. 24/ Penetapan Pidana/1990/PN Tertanggal 17 Nopember 1990 . Dapat disimpulkan bahwa Girik C 868 a/n Saimun yang dijadikan objek rekayasa dari Pembuatan Akta No.3 tanggal 1 Agustus 1985 dan Akta No.145 tanggal 11 Januari 1991 dapat dikenakan pasal pidana berlapis ( Vide II dan Vide III ). Juga harus selalu diingat motto yang mengatakan: Penggugat senantiasa meneliti terlebih dahulu akan keabsahan surat-surat tanah yang akan dibebaskan.

Rekayasa yang dibuat PT Summarecon Agung sebagai Penggugat semakin menjadi-jadidan lepas kendali. Terbukti pada sidang tanggal 4 Desember 1991, PT Summarecon Agung mengajukan saksi H. Abdul Hamid. Abdul Hamid disebut-sebut sebagai pihak yang membebaskan tanah Abdullah bin Naman untuk kepentingan SUAD. Saksi ini mengaku masih menyimpan Arsip (dalam bentuk foto copy) yaitu ”Surat Penyerahan Tanah Garapan” kepada SUAD tertanggal 15 April 1965.

Saat itu kuasa hukum saya meminta agar saksi memperlihatkan Arsip yang dia miliki tersebut ke hadapan Majelis Hakim. Tujuannya untuk mencocokkan dengan bukti “Surat Penyerahan Tanah Garapan” kepada SUAD” yang diajukan oleh PT Summarecon Agung. Ternyata bukti yang diajukan PT Summarecon Agung berbeda seperti bumi dan langit alias berbeda sangat jauh dengan Arsip yang masih dipegang oleh saksi H. Abdul Hamid.

Akibat perbedaan itu masih saya ingat suasana di ruang sidang menjadi sedikit ribut. Ada perbedaan ejaan yang sangat mencolok dalam hal penulisan nama “Nicin” di ”Surat Penyerahan Tanah Garapan” yang diperlihatkan di dalam Arsip H.Abdul Hamid dengan ejaan nama “Nitjin” yang terdapat dalam arsip “Surat Penyerahan Tanah Garapan” yang diajukan oleh PT Summarecon Agung sebagai barang bukti di Pengadilan.

Perbedaan lain yang juga terlihat jelas antara fakta dalam Arsip “Surat Penyerahan Tanah Garapan” yang diperlihatkan oleh H.Abdul Hamid dengan yang diajukan oleh PT Summarecon Agung. Dalam arsip yang ditunjukkan oleh H. Abdul Hamid terlihat bahwa Sdr. Abdullah bin Naman membubuhkan tandatangannya. Sedangkan dalam “Surat Penyerahan Tanah Garapan” yang diajukan oleh PT Summarecon Agung Sdr. Abdullah bin Naman hanya membubuhkan Cap Jempol.

Anehnya ketika perbedaan tersebut dikonfrontir kepada Kuasa Hukum PT Summarecon Agung dia hanya mengatakan : Terserah kepada Majelis Hakim mau pilih yang mana! Akhirnya yang dipilih Majelis Hakim adalah bukti “Surat Penyerahan Tanah Garapan” yang diajukan PT Summarecon Agung sebagai barang bukti di Pengadilan.

Hal ini sebenarnya sudah semakin membuktikan keberpihakan Majelis Hakim dalam perkara ini kepada pihak PT Summarecaon Agung.

Selanjutnya untuk mendukung ”Surat Penyerahan Tanah Garapan” kepada SUAD tertanggal 15 April 1965 itu, PT Summarecon Agung menyiapkan surat bukti ke-2 yaitu ”Daftar Ex Pemilik Tanah dalam Proyek SUAD” tertanggal 20 Juni 1967. Dalam surat yang disiapkan PT Summarecon Agung tersebut tertera nama Letkol Soerjono, Komandan Komasad selaku pihak yang turut mengetahui. Dan dalam daftar itu tertera pula nama Abdulloh bin Naman di nomor urut 177.

Namun dalam persidangan tanggal 22 April 1992, saksi Letkol Soejono membantah keras pencantuman namanya selaku Komandan Komasad. Sambil memperlihatkan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat No.Kep-590/9/1971 tanggal 25 September 1971 yang isinya mengenai pengangkatan dirinya sebagai Wakil Komandan Komasad. Ini menjadikan pertanyaan baginya, bagaimana mungkin ada tanda tangan dirinya di surat bertahun 1967. Padahal pengangkatannya pada baru terjadi pada tahun 1971 pun baru sebagai Wakil Komandan Komasad dan bukan Komandan Komasad.

Merasa namanya dicatut dan disalahgunakan Letkol Soejono pun melaporkan PT Summarecoan Agung ke kepolisian.

Peristiwa keributan di persidangan dan kejanggalan-kejanggalan yang terbukti dan terkonfirmasi kepada orang dan surat-surat yang otentik rasanya telah membuktikan tindakan pelanggaran hukum penggugat. Semua peristiwa di persidangan itu masih terekam jelas di dalam benak saya. Namun sikap hakim semakin menguatkan kesimpulan saya bahwa majelis hakim tidak mungkin bersifat objektif dan netral dalam memeriksa perkara tersebut. Singkatnya bahwa gugatan di pengadilan menunjukkan PT Summarecon Agung mendalilkan tanah miliknya sendiri (yang terletak dilokasi lain) untuk mendapatkan tanah orang lain.

Rasa ketidakadilan majelis hakim semakin saya rasakan ketika tiba-tiba rumah tinggal saya disita. Padahal saat itu pengacara saya belum menyampaikan jawaban/ tanggapan atas gugatan PT Summarecon Agung. Di lain pihak saya juga secara hukum memiliki bukti-bukti yang lebih otentik atas tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II. Antara lain saya memiliki Sertifikat Hak Milik No.139/Pegangsaan II atas nama Abdullah bin Naman. Saya juga memiliki risalah lelang No.338 tanggal 5 Maret 1990. Saya juga memiliki klipping Pengumuman Lelang melalui Koran Suara Pembaruan serta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah ( SKPT ) dari BPN.

Atas keadaan persidangan yang merugikan saya ini akhirnya saya mohon perlindungan hukum kepada Petinggi Pengawas di Departemen Kehakiman agar Hakim Ketua Majelis diganti. Saya benar-benar telah sangat meragukan objektivitas dan netralitas dari Ketua Majelis dalam memeriksa perkara tersebut. Namun apalah dayaku kafilah menggonggong anjing berlalu.

Masih dalam rangka memberi dukungan untuk Pembenaran bahwa No.urut 177 benar a/n Abdulloh bin Naman, PT Summarecon Agung kembali menyiapkan surat ke-3 yaitu “Daftar Minut Persawahan SUAD-4 Desa Pegangsaan” tertanggal 25 Juni 1971. Dalam surat ini terdapat nama Abdullah pada No.177. Tapi kali ini PT Summarecon Agung salah kaprah. Diluar dugaan mereka, Lettu A.Hamud yang namanya tertera sebagai pihak yang menyerahkan “Daftar Minut Persawahan SUAD-4″ masih menyimpan Surat Asli di lemarinya.

Nah, dalam Daftar Asli “Minut Persawahan SUAD-4″ milik Lettu A Hamid itu yang tertera pada No.urut 177 adalah Muhaja . Sementara dalam surat fotocopy yang diajukan PT Summarecon Agung sebagau alat bukti tertera nama Abdullah. Dengan surat ini PT Summarecon Agung kelihatannya sengaja mencantumkan nama Abdullah supaya seolah-olah termasuk pemilik tanah yang sudah dibebaskan oleh pihak SUAD.

Yang lebih mengejutkan dalam persidangan, sebelum Putusan dibacakan, salah satu Hakim Anggota di dalam musyawarah rapat telah menyampaikan pendapatnya. Menurut hakim anggota II Saur Delina L. Tobing dalam gugatan PT Summarecon Agung terdapat hal-hal yang secara prinsip tidak masuk akal, aneh dan janggal. Namun Ketua Majelis Hakim menyatakan “Abaikan saja! Dan biarkan hal itu menjadi Pekerjaan Hakim Banding.”

Persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara ini memang berjalan alot, lama dan butuh stamina yang luar biasa. Keluarga saya pun sudah mulai ikut merasakan hal-hal yang kurang fair dalam peradilan. Bahkan beberapa kerabat saya pun sudah memberikan berbagai peringatan agar saya hati-hati melawan PT Summarecon Agung. ”Sebab selama ini dalam urusan tanah untuk pembangunan perumahan di proyek real estate PT Summarecon Agung tidak pernah terkalahkan dalam pengadilan maupun dalam perdamaian,” ungkap salah seorang kerabat saya..

Pernyataan mereka itu pun masih didukung oleh berbagai data yang sudah diungkapkan media massa.. Sebut saja misalnya kala itu yang duduk sebagai Komisaris utama PT Summarecon Agung adalah Slamet Effendy Yusuf politikus dari Partai Golkar yang juga anggota DPR. Sedangkan Zaelani Zein, direktur operasi PT Summarecon Agung saat itu adalah salah satu pentolan Partai Golkar untuk Wilayah Jakarta Utara.

Selain kasus saya ternyata kasus serupa terjadi di kawasan ini. Banyak tanah rakyat yang dikuasai PT Summarecon Agung tanpa membayar ganti rugi. Seperti dimuat Poskota 21 Juli 1989, kasus Moh. Zein ahli waris ayahnya H. Abdul Halim. Tanah berupa tiga petak sawah warisan ayah mereka seluas 6.200 m2 yang sudah mereka miliki sejak lama dengan bukti kepemilikan tanah garapan serta bukti pembayaran Ipeda setiap tahun, tiba-tiba pada 1984 tersiar kabar telah menjadi milik PT Summarecon Agung. ”Padahal tak ada anggota keluarga kami yang menjualnya,” ungkap Moh. Zein ketika melaporkan masalah ini ke DPR. Saat itu mereka diterima oleh FKP yang terdiri dari Suseno, H. Slamet Effendi Yusuf, SH dan Drs. FMT Rajagukguk.

Ketika keluarga mengecek ke kelurahan, ternyata benar bahwa tanah garapan keluarga Moh. Zein telah dibeli oleh Perusahaan Real Estate PT Summarecon Agung. Tanah itu dibeli dari H. As pada 1980. Lelaki H. As mengaku membeli tanah itu dari seseorang bernama Mar yang tidak jelas identitasnya. Akhirnya keluarga Moh. Zein melaporkan lurah mereka ke Walikota Jakarta Utara. Si Lurah telah berani menandatangani berita acara penjualan tanah warganya tanpa diketahui pemiliknya. Lurah ini akhirnya diganti. Tetapi masalah tanah Moh. Zein tidak jelas.

Namun dalam ketidak jelasan itu, tiba-tiba saja seseorang yang mengaku karyawan PT Summarecon datang ke rumah. Si karyawan itu membujuk Ny. Abdul Halim istri almarhum H. Abdul Halim, agar mau menandatangani satu berkas surat dengan imbalan uang Rp1 juta. Untunglah Moh. Zein sempat mencegahnya, karena tidak jelas surat yang akan ditandatangani itu.

Setahun kemudian sawah yang sedang ditanami padi itu diuruk oleh PT Summarecon Agung. ”Padi kami yang siap dipanen ludes diuruk. Makanya kami cepat lapor ke Polres Jakarta Utara, dengan dalih tanah kami diserobot dan diurug pihak lain. Polisi cepat menghentikan pengurukan sawah itu dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Kegiatan untuk kedua belah pihak. Jadi sawah kami menjadi status quo. Ternyata di lapangan tidak menggubris perintah ini. ”Bahkan laporan kami ke Polres pun makin tidak jelas pengusutannya hingga dimana,” ungkap Moh. Zein.Moh. Zein mengaku tidak memiliki kemampuan memperkarakan PT Summarecon karena tidak memiliki biaya.

Yang anehnya anggota DPR Slamet Effendi Yusuf, SH justeru mempertanyakan mengapa Moh. Zein baru mengetahui tanahnya diambil orang lain setelah empat tahun jual beli terjadi. Moh. Zein hanya mengatakan bahwa selama ini mereka tidak ada yang mengganggu. ”Kami tetap mengerjakannya dan tiap tahun bayar Ipeda jadi tidak ada masalah. Tiba-tiba terjadi pengurukan atas tanah kami barulah kami bertindak,” jelasnya. Padahal saat itu Effendi Yusuf duduk sebagai Komisaris Utama PT Summarecon Agung.

Kasus serupa juga dialami oleh Jhony Basuki. Seperti ditulis oleh Tempo, Edisi 12 Mei 1990, Jhony juga menuding PT Summarecon Agung telah mencaplok tanah miliknya seluas 34 ha. Padahal seperti diungkapkan oleh Jhony dia membeli tanah besertifikat hak milik seluas 88.780 m2 dan berstatus girik seluas250.650 m2 pada tahun 1988. Tanah itu dibelinya dari beberapa orang antara lain dari pengusaha real estate Ir. Siswono Yudohusodo, yang saat itu Menteri Perumahan Rakyat.

Jhony sudah berusaha menyelesaikannnya dengan PT Summarecon Agung melalui kuasa hukumnya LKBH Ayodya Justisia pimpinan E.Y.Kanter. Tetapi PT Summarecon Agung tak kunjung menanggapi tuntutannya. ”Tahu-tahu PT Summarecon Agung mau go public. Dan tanah klien kami dijadikan asetnya,” ungkap Kanter.

Karena itulah Kanter langsung menyurati Bapepam dan Advokat yang memberikan legal opinion untuk go public PT Summarecon Agung dan perusahaan penjaminnya.

Tuntutan serupa juga datang dari Pemda DKI Jakarta. Pemda DKI menuding PT Summarecon Agung seenaknya memasukkan fasilitas umum sebagai assetnya. Fasilitas dimaksud antara lain Gedung Kelapa Gading Sports Club senilai Rp1,4 miliar, Akademi Tunas Karya senilai Rp811,5 juta dan Sekolah Tunas Karya senilai Rp784,5 juta. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.5/1974 berbagai fasilitas adalah milik Pemda DKI.

Namun pihak PT Summarecon Agung tidak merasa jengah. Direktur Umum PT Summarecon Agung H. Zaelani Zein mengatakan semua lokasi tanah yang dituntut itu tidak termasuk aset yang ditawarkan Summarecon Agung di prospektus. ”Seperti tanah yang dituntut Jhony seluas 1,8 ha ternyata tanah itu adalah milik H.Masnadi Badar. Lokasinya pun bukan di Kelurahan Pegangsaan II melainkan di Kelurahan Kelapa Gading,” tangkis Zaelani. Bahkan untuk tuntutan Pemda DKI atas Kelapa Gading Sport Center, Zaelani mengatakan kenapa sport center lainnya seperti di Cinere, Pondok Indah sampai kini tak pernah diserahkan kepada Pemda DKI?

Mirip-mirip kasus itulah kasus tanah saya. Selama tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II dikuasai negara, tampaknya tidak terjadi apa-apa. Tetapi begitu tanah itu saya menangkan lewat lelang, PT Summarecon Agung pun menyerobotnya. Dan anehnya tanah yang saya beli dari negara dikatakan oleh pengadilan bermasalah dan tidak sah.

Karena pada akhirnya pada tanggal 18 Juni 1992 Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengeluarkan keputusan. Keputusan No.17/Pdt/G/1991/PN.Jkt.Ut itu menyatakan mengabulkan gugatan PT.Summarecon Agung. Dalam keputusan itu ditetapkan bahwa PT Summarecon Agung sebagai satu-satunya pemilik yang berhak atas tanah (Miliknya PT. SA sendiri karena dalam Pertimbangan Putusan, Tidak ada kata-kata yang bisa dibuktikan tentang adanya Tumpang Tindih dengan objek sengketa tanah SHM No.139 ).

1. Sebidang tanah Girik C 868 persil 798 SII seluas ± 4.252 m2 yang diperoleh PT SA dari Saimun bin Nawir berdasarkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah No.3 tanggal 1 Agustus 1985 yang dibuat dihadapan Soesilo Soemarsono selaku Pengganti W.Silitonga Notaris di Jakarta.
2. Sebidang tanah seluas ± 406.000 m2 berdasarkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah No.9 tanggal 1 Oktober 1988 yang dibuat di hadapan J.L.Waworuntu Notaris di Jakarta yang telah dikeluarkan Surat Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah ( SIPPT ) oleh Gubernur DKI - Jakarta dengan Surat No.242/-711
3. Menyatakan Robert Sudjasmin (Tergugat I). telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum
4. Menyatakan SHM No.139/Pegangsaan Dua yang dikeluarkan oleh BPN atas nama Abdullah bin Naman tidak mempunyai nilai pembuktian hak sejak semula.
5. Menyatakan tidak sah Risalah Lelang No.388 tanggal 5 Maret 1990 sepanjang mengenai objek tanah Sertifikat Hak Milik No.139/Pegangsaan Dua

Kalau disebut Hakim adalah wakil Tuhan untuk memberikan keadilan bagi manusia, namun dalam kasus saya ini hakim justeru memihak yang salah. Kebohongan yang telah terungkap dalam persidangan diabaikan. Saya menyimpulkan bahwa sejak awal sudah ada tujuan yang pasti yakni mengabulkan permohonan si Penggugat , PT Summarecon Agung .

SUMMARECON NGGAK JADI BAYAR…!

Proses pemeriksaan di kepolisian memang memakan waktu. Boleh jadi karena banyaknya perkara yang harus ditangani. Demikian juga pemrosesan aduan yang saya sampaikan pada 23 Juni 1990. Kala itu saya mengadukan PT Summarecon Agung yang tidak mau mengakui keberadaan tanah saya bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II. Alasan yang mereka kemukakan karena saya tidak bisa menunjukkan dengan pasti lokasi tanah itu. Sebab saat terjadi pengukuran dan pematokan lahan setelah saya memenangkan lelang, petugas ukur BPN Iting Chaidir salah menunjuk lokasi. Dia justru menunjuk dan mematoki tanah Yayasan Badan Pendidikan Kristen (BPK) Penabur.


Atas dalih itulah pihak PT Summarecon Agung mengatakan saya tidak punya tanah di lokasi SIPPT yang sudah mereka miliki karena saya tidak bisa menunjukkan dengan pasti lokasi tanah saya yang bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II. Bahkan setelah dilakukan pengukuran dan pematokan ulang pun mereka tidak pernah mengakui keberadaan tanah saya. Padahal pengukuran dan pematokan ulang itu dilakukan oleh petugas ukur BPN Sdr. Rochmat dengan pengawasan dari Petugas Polda Metro Jaya serta disaksikan oleh perwakilan PT Summarecon Agung. Secara administratif peristiwa ini tertuang dalam Berita Acara Tanggal 5 Oktober 1990 yang juga disertai rekaman foto-foto saat pengukuran.

Karena PT Summarecon Agung tidak mau mengakui hak saya akhirnya saya melaporkan mereka ke Polisi dengan No.Pol:1301/K/VI/1990/GA OPS ”A”. Laporan saya ini ternyata belum juga tuntas diproses Polisi hingga guagatan PT Summarecon Agung kepada saya di PN Jakarta Utara dikabulkan.

Tetapi kebenaran itu tak dapat dikibuli. Sebaik apapun itu ditutup-tutupi suatu saat akan terkuak. Buktinya proses penelitian polisi atas laporan saya akhirnya membuahkan hasil. Bahkan laporan saya itu semakin diperkuat pula oleh laporan Letkol Soejono ke Polda Metro Jaya pada 24 April 1992 karena pemalsuan tanda tangannya dalam surat ”Daftar Ex Pemilik Tanah Dalam Proyek SUAD”. Sebab pada tanggal surat dimaksud Letkol Soejono belum menjabat Komandan Komasad. Sesuai Surat Keputusan Kepala Staf TNI Angkatan Darat No. Kep-590/9/1971 tertanggal 25 September 1971 tentang pengangkatan Letkol Soejono sebagai wakil Komandan Komasad. Sedangkan surat ”Daftar Ex Pemilik Tanah Dalam Proyek SUAD” adalah tahun 1967. Luar biasa! Jabatan dipangku pada 1971 tetapi sudah menandatangani surat atas nama jabatan itu pada 1967. Inilah bukti rekayasa yang dibuat oleh PT Summarecon Agung dalam upaya mereka merebut tanah saya. Letkol Soejono dalam aduannya hal pemalsuan surat :”Daftar Ex Pemilik Tanah dalam Proyek SUAD” bernomor No.Pol.755/K/IV/1992/SATGA OPS ”C”.

Bukti kepalsuan yang dilakukan oleh PT Summarecon semakin terkuak lagi ketika Soesilo Soemarsono notaris yang membuat Akta Pelepasan Hak melapor ke Polda Metro Jaya. Soesilo merasa akte yang dia buat telah dipalsukan oleh pihak PT Summarecon Agung. Karena aduan Letkol Soejono dan Soesilo dianggap sama dengan objek yang sama maka penelitian atas tindak kriminal ini pun disatukan.

Atas dasar berbagai kecurangan dan tindak pidana yang semakin menyeruak ini akhirnya Polda Metrao Jaya memanggil direksi PT Summarecon Agung. Selain itu Polisi juga mulai menyelidiki para pihak terkait seperti Soesilo Soemarsono pada 14 Desember 1993. Dalam pemeriksaan itu dia menyatakan bahwa luas dalam minut akta adalah 4.900 m2 dengan harga Rp36.750.000.- Jadi bukan seluas 4.252 m2 dengan harga Rp31.890.000.- Soesilo juga menyatakan dengan tegas bahwa akta yang dia buat tidak pernah ditipp-ex dan ketik ulang seperti akta yang diperlihatkan oleh PT Summarecon Agung. Soesilo baru melihat akta yang ditipp-ex itu dalam persidangan 1992. ”Saya tidak punya kepentingan untuk mengubah aktapada tahun 1985. Namun pada sekitar 1990 saya pernah dihubungi Sdr.H. Oyon ke rumah per telepon yang menyatakan keinginannya untuk membetulkan akta. Dan saya jawab tidak mungkin melaksanakan maksud Sdr. Oyon tersebut mengingat saya sudah tidak ada kewenangan apalagi sebagai pemegang protokol berkas Minut Akta Notaris W.Silitonga yang disimpan di kantor Notaris Abdul Kadir Usman, SH sejak Juli 1986. Saya duga pembetulan inilah yang dimintakan oleh Oyon,” jelas Soesilo.

Polisi juga memanggil Tjarbu Sukinta (tersangka III) dalam perkara pidana ini. Dengan tegas Tjarbu menyatakan bahwa dirinya pernah diperintahkan untuk membuat Minut Akta berikut salinan Akta No.3 mengenai Pelepasan Hak atas Tanah H. Saimun bin Nawir kepada H. Zaelani Zein, direktur utama PT Nusa Kiranan Real Estate. ”Tetapi dalam salinan itu saya mengubah luas tanah yang tertera di Girik C No.868 Persil 798 Blok S II dari angka 4.252 m2 menjadi 4.900 m2 sesuai dengan tulisan tangan H. Sumya Aziz Shobari alias H. Oyon,” ungkap Tjarbu.

Tjarbu juga mengakui dirinya kembali mengubah luas tanah 4.900 m2 di Salinan Akta No.3 tanggal 1 Agusutus 1985 kembali menjadi angka semula yaitu 4.252 m2 dengan cara tipp-ex atas perintah H. Oyon. Terjadinya perubahan ini karena Polisi Polda Metro Jaya memanggil direktur PT Summarecon Agung dalam perkara penyerobotan tanah milik Robert Sudjasmin. Yang lebih menyedihkan lagi dalam akta No.3 tanggal 1 Agusutus 1985 itu nama Tjarbu dicantumkan sebagai saksi dari kantor notaris. ”Padahal selaku saksi saya tidak pernah melihat atau menyaksikan para pihak menandatangani Akta No.3 itu di hadapan Notaris Pengganti Sdr. Soesilo Soemarsono.

Tjarbu juga mengakui bahwa pada tanggal 11 Januari 1991 dia yang membuat Minut Akte dan Salinan Akta Pemindahan Hak atas Tanah dan Kuasa No.145, Notaris JL Waroruntu dari PT Nusa Kirana Real Estate kepada PT Summarecon Agung. ”Namun dalam akta No.145 tanggal 11 Januari 1991 saya dengan tegas menolak nama saya dicantumkan sebagai saksi mengingat saya tahu persis dasar Akta No.3 tanggal 01 Agustus 1985 yang dijadikan pedoman untuk pembuatan Akta baru No.145 tanggal 11 Januari 1991 adalah cacat demi hukum karena para pihak tidak hadir dihadapan notaris dan parahnya lagi Akta no.3 tanggal 01 Agustus 1985 isinya tidak sama dengan minut akta yang disimpan diarsip Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.. Sebagai gantinya saya sengaja mencantumkan H. Oyon dan Ny. Norma Fitryah. Biarlah mereka kelak yang mempertanggungjawabkan segala perbuatan mereka,” ungkap Tjarbu.

Terbongkarnya kedok dan tindak pidana ini oleh Kepolisian membuat PT Summarecon Agung goyah. Dengan cepat PT Summarecon Agung mengiyakan untuk memberi ganti rugi atas tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II. Namun harga yang ditawarkan oleh PT Summarecon Agung kepada saya terlalu rendah. Sehingga akhirnya tidak tercapai kesepakatan harga. Oleh karena itu pihak polisi menganjurkan agar masing-masing pihak menunjuk appraisal untuk menaksir harga tanah bersertifikat SHM No.139/Pegangsaan II.

Hasilnya, pihak appraisal yang ditunjuk PT Summarecon Agung yaitu PT Artanila Permai menetapkan harga dengan berbagai pertimbangan. Antara lain lahan yang dinilai sesuai pesanan PT Summarecon Agung tersebut terdiri atas empat bidang tanah yang total luasnya sekitar 4.641 m². PT Summarecon Agung tidak mau menghitung lahan yang telah digunakan untuk Jl..Raya Boulevard Kelapa Gading dan dan saluran air. Summarecon Agung hanya mau mengganti kerugian atas sisa tanah yang masih dapat dipakai.

Dengan asumsi tersebut, maka nilai yang ditetapkan pada 21 Mei 1993 atas lahan seluas 4.641 m2 itu adalah Rp2.700.000.000- (Dua miliar tujuh ratus juta rupiah). Nilai tukar pada saat penilaian berdasarkan pada US$1 – Rp2.078 (kurs tengah).

Dengan dilakukannya penilaian oleh PT Summarecon Agung untuk membayar ganti rugi lahan saya, sebenarnya secara tidak langsung telah juga mengakui keberadaan tanah saya di wilayah SIPPT-nya. Bahkan oleh appraisal disebutkan dalam laporannya bahwa lahan tanah ini bermasalah dalam kepemilikan. Sesuai dengan keterangan yang diberikan klien kami, lokasi tanah yang terdiri atas 4 bidang tanah tersebut yang luasnya sekitar 4.641 m² yang merupakan bagian dari Sertifikat Hak Milik No.139 seluas 8.320 m², sekarang ini sedang ada masalah dalam hal kepemilikan.

Nilai yang dihasilkan oleh appraisal PT Summarecon Agung berbeda jauh dengan nilai yang dihasilkan oleh appraisal yang saya tunjuk. Appraisal saya menghasilkan nilai dua kali (2x) lipat yang dihasilkan oleh appraisal PT Summarecon Agung. Hal inilah yang membuat saya tidak bersedia menerima tawaran dari PT Summarecon Agung.

Selama proses perdamaian di kepolisian ini berlangsung, rupanya secara diam-diam dengan akal bulusnya kuasa hukum PT Summarecon Agung mendatangi Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Suhadi, SH agar sesegera mungkin memproses permohonan banding saya. Sementara di lain pihak Kuasa Hukum PT Summarecon Agung ini juga membujuk kuasa hukum saya agar tidak usah membuat memori banding/perlawanan terhadap PT.SA di pengadilan tinggi DKI dengan alasan bahwa saya dan PT Summarecon Agung dalam proses damai dan sedang dalam proses negosiasi harga tanah saja.

Atas akal bulus kuasa hukum PT Summarecon Agung ini, sekonyong-konyong pada 29 Mei 1993 keluar putusan dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.158/Pdt/1993/PT.DKI yang isinya memperkuat keputusan sesat Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dengan keluarnya keputusan ini berhenti pula proses damai yang telah dimulai dengan saling menunjukkan hasil penilaian appraisal masing-masing pihak. Semua hasil dan upaya ini menjadi mubazir dan sia-sia. Selanjutnya PT Summarecon Agung terus menghindari pertemuan-pertemuan berikutnya. Mereka merasa sudah tidak perlu proses damai itu karena pengadilan tinggi pun telah pula mengakui dan membenarkan kepemilikan PT Summarecon Agung atas lahan itu.

Appraisal buatan PT.Summarecon Agung itu menjadi sia-sia (mubazir)

LAPORAN PENILAIAN

LAHAN SELUAS 4.641 METER PERSEGI

DI PERUMAHAN KELAPA GADING ESTATE

JAKARTA UTARA

Laporan Penilaian ini dibuat sesuai dengan permintaan klien kami PT Summarecon Agung sebagai bahan pertimbangan bagi ‘Open Market Value’ atas lahan seluas 4.641 m² di Kelapa Gading Permai – Jakarta Utara, dan bersama ini kami sampaikan bahwa kami telah menyelesaikan pemeriksaan dan penelitian yang terlampir sebagai bahan pertimbangan.

Terlampir laporan singkat (executive summary) dan laporan resmi kami. Kami telah menilai lahan tersebut berdasarkan nilai pasar yang didasarkan kepada nilai tertinggi penjualan lahan tanah tersebut berdasarkan asumsi sebagai berikut:

a. Adanya minat Penjual dan Pembeli

b. Penilaian dilakukan pada tingkat suku bunga yang wajar, guna perundingan dan persetujuan terhadap harga dan persyaratn untuk kelengkapan penjualan

c. Harga mencerminkan nilai dari keadaan pasar pada saat dilakukannya penilaian

d. Tidak ada kepentingan khusus dari pembeli

Pada akhirnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kami menyatakan bahwa laporan ini bersifat rahasia yang ditujukan kepada pihak yang berkepentingan untuk digunakan pada tujuan tertentu. Tidak ada tanggung jawab pada pihak ketiga terhadap keseluruhan laporan maupun bagiannya atau referensinya, menyatakan atau mengedarkan ataupun hubungannya dengan pihak ketiga tanpa persetujuan tertulis dari kami.

Hormat kami,

PT. ARTANILA PERMAI

SUSILA BUDI MOEFFRENI

1.0 EXECUTIVE SUMMARY

· Gambaran Lahan

Lahan tersebut terdiri atas empat bidang tanah yang dikembangkan seluas sekitar 4.641 m² yang berlokasi didalam lingkungan perumahan Kelapa Gading Permai.

Lahan berada sekitar 11 km Timur Laut dari Jembatan Semanggi.

Monumen Nasional (MONAS) berada sekitar 8 km di Utara lahan.

· Kondisi dan Keadaan Lokasi Lahan

Lokasi terdiri atas 4 bidang tanah yang berdampingan, bidang A, B dan C berbentuk empat persegi panjang dan bidang D berbentuk segitiga. Gambar singkat dari masing-masing bidang tanah adalah sebagai berikut:

(I) Bidang A (Blok QA)

Bidang ini luasnya sekitar 773 m² yang berada di Jalan Pelepah Elok I didalam Kompleks Perumahan Kelapa Gading Permai. Di lokasi berdiri bangunan bédéng yang digunakan sebagai kantor di lapangan.

(II) Bidang B (Blok QA-5 dan QA-6)

Bidang ini luasnya sekitar 2.074 m² berada dipersimpangan Jalan Kelapa Gading Boulevard dan Jalan Pelepah Elok I di dalam Kompleks Perumahan Kelapa Gading Permai. Lokasi ditumbuhi rumput dan sedang ada pengerjaan urugan tanah.

(III) Bidang C (Blok PA-19 dan PA-20)

Bidang ini luasnya sekitar 1.643 m² dan berada dipersimpangan Jalan Kelapa Gading Boulevard dan Jalan Gading Asri I di dalam Kompleks Perumahan Kelapa Gading Permai. Di Blok PA-20 berdiri satu bangunan tempat tinggal bertingkat satu, dan di Blok PA-19 berdiri Ruko bertingkat 2 yang belum selesai pembangunannya (70%).

(IV) Bidang D (Blok QF-1 dan QF-2)

Bidang ini luasnya sekitar 160 m² dan berada di Jalan Raya Janur Elok di dalam Kompleks Perumahan Kelapa Gading Permai. Lokasi ditumbuhi rumput dan sedang ada pengerjaan urugan tanah.

Keempat bidang tanah ini memiliki luas sekitar 4.641 m². Sesuai dengan informasi yang diberikan oleh klien kami, lahan tanah ini bermasalah dalam kepemilikannya.

Kami mengerti bahwa Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas lahan tersebut di atas akan dikeluarkan atas nama PT Summarecon Agung.

· Perencanaan Kota

Sesuai dengan Surat Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah No. 1805/IV/1985 a/n PT Summarecon Agung, diwilayah perumahan dan perdagangan.

· Tanggal Penilaian

21 Mei 1993

· Nilai

Rp. 2.700.000.000,- (Dua milyar tujuh ratus juta rupiah)

Nilai tukar pada saat penilaian berdasarkan pada US $1 = Rp. 2.078,- (Kurs tengah)

2.0 LOKASI

Lahan tanah yang terdiri atas 4 bidang tanah yang akan dikembangkan tersebut berada di dalam Kompleks Perumahan Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara. Lokasi berada sekitar 11 km Timur Laut dari Jembatan Semanggi.

Monumen Nasional (MONAS) berada 8 km di Utara.

Kelapa Gading Permai merupakan salah satu kompleks Perumahan terkemuka yang dikembangkan ditahun 1977. Rumah-rumah dilokasi ini umumnya terdiri atas bangunan bertingkat satu dan dua yang dihuni oleh kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Perumahan ini merupakan kota mandiri yang dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas seperti pusat perdagangan, sarana olah raga, apartemen, sekolah dan pusat perbelanjaan.

Jalan Kelapa Gading Boulevard dan Jalan Raya Barat Boulevard/ Jalan Raya Timur Boulevard merupakan jalan utama dari arah utara ke selatan dan timur ke selatan yang melewati perumahan tersebut.

3.0 Rincian Lokasi

Lokasi ini terdiri atas 4 bidang tanah yang akan dikembangkan dengan luas seluruhnya sekitar 4.641 m². Di bawah ini adalah gambaran singkat untuk masing-masing bidang tanah tersebut:

(I) Bidang A (Blok QA)

Bidang ini luasnya sekitar 773 m² yang berada di Jalan Pelepah Elok I didalam Kompleks Perumahan Kelapa Gading Permai. Di lokasi berdiri bangunan bédéng yang digunakan sebagai kantor di lapangan.

(II) Bidang B (Blok QA-5 dan QA-6)

Bidang ini luasnya sekitar 2.074 m² berada dipersimpangan Jalan Kelapa Gading Boulevard dan Jalan Pelepah Elok I di dalam Kompleks Perumahan Kelapa Gading Permai. Lokasi ditumbuhi rumput dan sedang ada pengerjaan urugan tanah.

(III) Bidang C (Blok PA-19 dan PA-20)

Bidang ini luasnya sekitar 1.643 m² dan berada dipersimpangan Jalan Kelapa Gading Boulevard dan Jalan Gading Asri I di dalam Kompleks Perumahan Kelapa Gading Permai. Di Blok PA-20 berdiri satu bangunan tempat tinggal bertingkat satu, dan di Blok PA-19 berdiri Ruko bertingkat 2 yang belum selesai pembangunannya (70%).

(IV) Bidang D (Blok QF-1 dan QF-2)

Bidang ini luasnya sekitar 160 m² dan berada di Jalan Raya Janur Elok di dalam Kompleks Perumahan Kelapa Gading Permai. Lokasi ditumbuhi rumput dan sedang ada pengerjaan urugan tanah.

4.0 Title Particulars

Sesuai dengan keterangan yang diberikan klien kami, lokasi tanah yang terdiri atas 4 bidang tanah tersebut yang luasnya sekitar 4.641 m² yang merupakan bagian dari Sertifikat Hak Milik No.139 seluas 8.320 m², sekarang ini sedang ada masalah dalam hal kepemilikan.

lotplan-robert-resize1

5.0 Perencanaan Kota

Sesuai dengan Surat Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah No. 1805/IV/1985 a/n PT Summarecon Agung diperuntukan sebagai berikut:

Bidang Peruntukkan

a. Bidang A Blok QA Perumahan

b.Bidang B Blok QA-5 Perdagangan

Bidang B Blok QA-6 Perumahan

c.Bidang C Blok PA-19 Perdagangan

Bidang C Blok PA-20 Perumahan

d.Bidang D Blok QF-1 Perdagangan

Bidang D QF-2 Perdagangan

6.0 Pelayanan

Lokasi ini dilengkapi listrik dari PLN dan air bersih oleh PDAM. Transportasi umum yang terdiri atas minibus, mikrolet dan taksi tersedia di dalam kompleks perumahan.

7.0 Basis dan Metode Penilaian

Kami diminta menilai lokasi lahan tanah di atas berdasarkan keadaan tanah kosong (vacant land). Kesimpulan yang kami peroleh dari Open Market Value dari lahan tersebut menggunakan pendekatan penilaian perbandinagn (Comparison Approach) atas asset berdasarkan analisa penjualan asset sejenis disekitar wilayah tersebut.

Penyesuaian dilakukan untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan atas lokasi, akses, bentuk, kontur tanah, ukuran, bentuk kepemilikan, waktu, dll.

8.0 Penilaian

Setelah mempertimbangkan kondisi pasar yang muncul dan seluruh informasi yang berhubungan, kami berpendapat bahwa Open Market Value dari keempat bidang tanah seluas 4.641 m² ini yang berada di dalam Perumahan Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara, berdasarkan ‘vacant land’ pada Tanggal 21 Mei 1993 adalah Rp. 2.700.000.000,- (dua miliar tujuh ratus juta rupiah).

Penilaian juga dibuat berdasarkan asumsi:

a. Lahan tanah bebas dari permasalahan

b. Lahan tanah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB)

Hormat kami,

PT ARTANILA PERMAI

SUSILA BUDI MOEFFRENI